Minggu, 26 Agustus 2012
Mengapa menutup aurat wajib bagi wanita muslim ??
Jilbab: Sebuah Kewajiban Bagi Kaum Muslimah!
Allah SWT berfirman:
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan & rdquo; (Qs. al-A’râf [7]: 26).
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengertitentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan; (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Menurut Imam ath-Thabari, makna yang lebih
tepat untuk ;perhiasan yang biasa tampak” adalah “muka
dan telapak tangan”.[ii] Keduanya bukanlah aurat, dan boleh
ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan
adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing,
kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah
riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk
ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah Saw pun
berpaling seraya berkata: “Wahai Asma, sesungguhnya wanita itu
bila telah mencapai masa haid tidak patut ada bagian tubuh yang kelihatan
kecuali ini dan ini. Beliau berkata demikian sambil menunjuk ke wajah dan
kedua tangannya” [HR. Abu Dawud, 2/182-183 dan al-Baihaqi,
II/226 dari Aisyah ra, hadits ini dinilai kuat oleh Imam al-Baihaqi dan Syaikh
Albani). Imam al-Qurthubi menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah
dari Allah swt kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya
kepada para laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para
laki-laki penglihat. Menurut Imam an-Nasâfi, yang dimaksud dengan
“al-zînah” (perhiasan) adalah semua yang digunakan
oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud dengan “al-zînah” (perhiasan)
di sini adalah “mawâdli az-zînah” (tempat
menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di atas adalah
“janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan
untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak
tangan, dan dua mata Majalah Al Hijrah http://alhijrah.cidensw.net
Powered by Joomla! Dibuat pada: 27 August, 2012, 10:28kaki.[iii] Sedangkan Imam Ibn
Katsir dalam Tafsîr al-Qurân al-Azhîm (jld. 3, hal. 285), menyatakan; menurut jumhur ulama
tafsir, “illa ma dzahara minhâ” diartikan muka dan kedua
telapak tangan.
Perintah syara untuk mengenakan khimar
bagi wanita yang telah baligh pada kehidupan umum terdapat dalam firman
Allah SWT: “
Ada pun untuk mengenakan jilbab bagi
wanita dalam kehidupan umum dapat kita perhatikan firman Allah
SWT: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di
ganggu.” (Qs. al-Azhab [33]: 59). Allah SWT memerintahkan Nabi
Saw untuk menyampaikan suatu ketentuan bagi para Muslimah. Ketentuan
yang dibebankan kepada para wanita Mukmin itu adalah: yudnîna
‘alayhinna min jalâbîbihinna (hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka). Sedangkan kata jalâbîb merupakan bentuk
jamak dari kata jilbâb. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah
(baju kurung) dan mula’ah
(kain panjang yang tidak berjahit). Bahwa jilbab adalah setiap pakaian
longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan dalam keseharian
dapat dipahami dari hadis Ummu ‘Athiyah ra:
“Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk keluar pada Hari
Fitri dan Adha, baik gadis yang menginjak akil balig, wanita-wanita yang
sedang haid, maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap
meninggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum
Jilbab yang Disyaratkan1. Menjulur ke bawah sampai menutupi kedua
kakinya (tidak berbentuk potongan atas dan bawah, baik rok atau
celana [seluar] panjang) sebab firman Allah SWT: “Dan hendaklah
mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”.
Huruf “min” pada frase “min jalâbîbihinna”
berfungsi untuk menjelaskan (li albayân), bukan li al-tabîdl (menunjukkan
arti sebagian). Oleh karena itu, maksud ayat itu adalah, "hendaklah
para wanita itu mengulurkan mula’ah (kain panjang tak berjahit) atau milhafah (semacam selimut)
hingga menjulur ke bawah (irkha). Sebab diriwayatkan dari Ibn Umar ra yang
berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Rasulullah Saw menjawab:
Hadits ini menjelaskan bahwa jilbab diulurkan kebawah sampai menutup kedua kakinya. Meskipun
kedua kakinya tertutup dengan kaus kaki atau sepatu, maka ia belum
disebut irkha (mengulurkan) jilbab. Sebab, yang dituntut oleh syari’at adalah irkha (mengulurkan
jilbab) hingga ke bawah kedua kaki, bukan sekedar menutup kedua mata kaki.
Majalah Al Hijrah http://alhijrah.cidensw.net Powered by
Joomla! Dibuat pada: 27 August, 2012, 10:28 karena aku khawatir nampak lekuk-lekuk tubuhnya.” [HR.
Ahmad]. Dan diriwayatkan pula dari ‘Aisyah ra,[HR. Abu Dawud].
Sedangkan kewajiban mengenakan pakaian tsaub
(pakaian dalam, pakaian sehari-hari ketika di rumah yang tidak
ada laki-laki asingnya) dapat dipahami berdasarkan pengertian dalalatul
isyarah bahwa setelah dilepaskannya jilbab/pakaian luar bukan berarti
wanita tua tersebut tanpa busana sama sekali. [v]Khatimah Dengan demikian telah jelas
bahwa syariat berjilbab adalah wajib bagi kaum Muslimah sejak zaman Nabi
Saw sampai sekarang. Telah jelas juga bahwa hukum wajib berlaku dimanapun
kita berada, sehingga tidak ada alasan apapun bagi kaum Muslimah untuk
melepas khimar maupun jilbabnya ketika berada di kehi [i] Al-Mubadda, jld.1,
hal. 359; Kasyf al-Qanâ, jld. 1, hal. 263. [ii] Imam ath-Thabari, Jâmi al-Bayân
fî Tawîl al- Qurân, jld. 18, hal. 118. [iii] Imam an-Nasafi, Madârik
at-Tanzîl, jld. 3, hal. 143. [iv] Imam Ali ash-Shabuni, Shafwât At-Tafâsir,
jld. 2, hal. 336. [v] Imam Muhammad Abu Dzahrah dalam kitab Ushulul Fiqh, hal.
164-147, Syaikh Abdul Wahab Khallaf
dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh, hal. 143-153, dan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
dalam kitab asy-Syakhshiyah Islamiyah, jld. 3, hal. 178-179.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar